METRO CEPU – Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Blora, Sunaryo, mengungkapkan bahwa pihaknya masih memonitor perkembangan kasus pengerusakan aset sekolah yang melibatkan puluhan siswa SMPN 1 Randublatung.
“Biar dilihat dulu konstruksi kasusnya,” ujarnya singkat saat dikonfirmasi, belum lama ini.
Sementara itu, Sekretaris Dinas Pendidikan Kabupaten Blora, Nuril Huda, menyatakan bahwa pihaknya memberikan kesempatan kepada sekolah untuk menyelesaikan masalah tersebut.
“Menurut saya ini memang ada dua sisi yang berbeda, sudut pandang sekolah, dan sudut pandang wali murid. Namun, jika memang tindakan itu tidak dibenarkan, karena apapun alasannya barang itu merupakan aset,” jelasnya.
Nuril Huda juga berharap agar media dapat memberitakan kasus ini secara proporsional dan tidak condong sebelah.
“Semoga segera diselesaikan dengan baik. Dan kami berharap media bisa berada di tengah,” tandasnya.
Diberitakan sebelumnya, dugaan perusakan aset sekolah berupa puluhan monitor dan CPU komputer yang dilakukan oleh puluhan siswa SMPN 1 Randublatung menjadi sorotan wali murid.
Diduga, tembaga yang berada di dalam perangkat komputer diambil, sehingga banyak komponen monitor dan CPU yang pecah dan rusak.
Akibatnya, pihak sekolah meminta para siswa yang diduga terlibat untuk mengganti aset yang rusak.
Namun, sejumlah wali murid memprotes keputusan tersebut. Mereka mengklaim bahwa bukti yang ada tidak cukup kuat untuk menuduh anak-anak mereka.
Untuk diketahui, puluhan siswa dari kelas 7 hingga kelas 9 yang diduga sebagai pelaku perusakan.
Pihak sekolah pun mengambil tindakan dengan memanggil wali murid yang diduga terlibat perusakan, pada, 22 Januari 2025 lalu.
“Bukti CCTV tidak ada, kok sekolah bisa menyimpulkan anak yang tidak terlibat juga disuruh mengganti,” ujar salah seorang wali murid berinisial S, Minggu 26 Januari 2025.
Dari pengakuan anaknya, menurut dia, anaknya hanya melihat dari luar pagar, tidak ikut masuk ke dalam pagar dan ikut melakukan perusakan.
“Bukan nominal uangnya, iya kami siap akan ikut urunan mengganti. Tetapi mestinya adil. Siapa yang pelaku utama, siapa saksinya, adakah dalangnya, kan harus jelas,” ujarnya setengah bertanya.
Dirinya pun setuju, jika anak yang terlibat diberikan sanksi, sebagai efek jera. Tetapi mestinya sekolah juga berperan untuk membentuk karakter siswanya.
“Jika memang terbukti salah ya disanksi tidak masalah, tetapi kronologinya pun harus jelas,” tandasnya.
Wali murid yang mewanti-wanti namanya tidak ditulis itu pun menyayangkan kejadian tersebut.
Jika memang komponen komputer itu masih berfungsi, kenapa tidak diamankan didalam gedung yang aman dan tertutup.
Tetapi justru meletakkan barang elektronik tersebut di luar hanya beratap genteng yang sudah banyak yang pecah.
“Dengan kondisi genteng banyak yang pecah, otomatis kan barang tersebut juga kehujanan? Logikanya kan memang sudah rusak. Meskipun secara hukum, anak yang merusak tetap salah,” bebernya.
Sementara itu, wali murid lain, juga mempertanyakan keaslian kejadian tersebut.
Menurutnya, setelah anaknya diintrogasi, didapat keterangan bahwa anaknya tidak berada dilokasi saat peristiwa perusakan itu terjadi.
“Namanya anak, ada rame-rame kan nalurinya ingin tahu. Tapi tiba-tiba juga dipanggil untuk ikut mengganti. Padahal posisinya sedang hujan, dan sedang berteduh di mushola,” katanya.
Kemudian, beredar kabar, jika terduga pelaku perusakan ada 48 anak. Mereka telah dikenakan denda untuk mengganti ratusan ribu rupiah.
Kepala SMPN 1 Randublatung, Nur Yahya, yang berhasil dikonfirmasi menjelaskan, jika ada 20 monitor dan 10 CPU yang dirusak.
“Barang itu kami simpan dibelakang kelas memang. Sudah kita pagar dan kita kunci. Karena sekolah kami sedang ada rehab sehingga kekurangan ruangan jika harus menyimpan didalam. Dari informasi yang kami gali ada anak-anak yang melompat pagar kemudian melakukan perusakan,” ujarnya.
Setelah sekolah mengumpulkan informasi, siapa saja yang diduga ikut melakukan perusakan, kemudian sekolah mengumpulkan wali murid untuk membahas peristiwa tersebut.
“Kami hanya minta untuk bisa diganti, kami tidak memperpanjang persoalan. Karena mereka anak-anak kami sendiri,” jelasnya.
Terkait, besaran nominal per orang untuk mengganti, Yahya mengaku tidak tahu menahu. Karena wali murid membuat grup dan kesepakatan sendiri.
“Kami justru tidak tahu, berapa iurannya. Kami hanya minta barang diganti barang saja. Misal mau beli monggo dibahas sendiri, sekolah tidak mau jika diminta untuk membelikan,” tandasnya.***