METRO CEPU – Sebuah temuan prasasti di kawasan wisata Puthuk Kreweng Desa Mojodelik Kecamatan Gayam, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, menjadi sorotan. Ada sejumlah kejanggalan terungkap melalui analisis paleografi, material, dan ikonografi.
Tim pendata dari ODCB Provinsi Jawa Timur bersama ahli epigraf BRIN dan hasil geologi menyatakan keraguan terhadap keaslian prasasti yang ditemukan tersebut.
Ahli epigraf BRIN, dari Tim pendata dari ODCB Provinsi Jawa Timur Wilayah Kerja Bakorwil V, Eko Bastiawan menyampaikan rangkuman terkait temuan yang memicu polemik tersebut.
Dikatakannya, lokasi dan Kondisi Temuan yang Tidak Lazim. Prasasti ditemukan di atas permukaan tanah, bukan melalui penggalian arkeologis. “Kondisinya bersih tanpa jejak tanah lempung yang biasanya melekat pada benda purbakala,” kata dia.
Kemudian, material batu yang tidak sesuai dengan geologi lokal. Prasasti ini terbuat dari batu andesit, sementara wilayah Bojonegoro yang masuk dalam zona Pegunungan Kendeng Utara memiliki batuan endemi berbasis gampingan atau kalsit.
Sebagai perbandingan, lanjut dia, prasasti asli di daerah ini, seperti Prasasti Pelem (Purwosari), Prasasti Ngabar, dan Prasasti Sumberarum, semuanya menggunakan bahan lokal. “Keberadaan andesit, yang mungkin berasal dari luar wilayah, mengindikasikan ketidaksesuaian geologis,” ungkap Eko.
Terdapat anehan paleografi dan penanggalan. Prasasti ini memuat angka tahun 630 Saka (708 Masehi), yang merujuk pada era Kerajaan Medang atau Kalingga. Namun, gaya pahatan angka dan aksara menunjukkan ciri khas era Kerajaan Kadiri.
Ahli epigraf BRIN, Eko Bastiawan, menambahkan bahwa penggunaan tanda diakritik seperti “anusvara” (penanda nasal) dan “pangkon” (penanda akhir suku kata) pada baris pertama, serta “ulu” dan pangkon di baris kedua, tidak lazim ditemukan pada prasasti asli periode tersebut. “Ini indikasi kuat bahwa pembuat prasasti kurang memahami kaidah epigrafi Jawa Kuno,” ujarnya.

Goresan yang terukir pada prasasti, terlalu baru. Analisis permukaan menunjukkan bahwa goresan aksara dan pahatan terlihat terlalu baru, tanpa tanda pelapukan atau erosi alam.
Hal ini bertolak belakang dengan prasasti asli yang umumnya menunjukkan jejak usia, seperti retakan mikro atau perubahan warna akibat paparan unsur alam.
Selanjutnya, pada prasasti kedua bergambar Garuda Wisnu, yang juga terdapat kesalahan fatal dalam pahatannya: “cakra” (senjata berbentuk cakram), yang seharusnya berada di tangan kanan Dewa Wisnu, justru dipahat di tangan kiri.
Kesalahan simbolis ini bertentangan dengan pakem ikonografi Hindu kuno, menguatkan dugaan bahwa pembuatnya tidak memahami konvensi seni religius masa lalu.
Dengan sejumlah temuan tersebut, Tim pendata dari ODCB Provinsi Jawa Timur menyimpulkan, bahwa diduga kuat ada pemalsuan prasasti.
Untuk diketahui, dikutip dari Suarabanyuurip.com, dua buah lempengan batu bertuliskan aksara kuno yang mirip Aksara Jawa ditemukan di tempat wisata Puthuk Kreweng, Bojonegoro.
Penemuan ini bermula dari mimpi Kepala Desa Mojodelik, Yuntik Rahayu, yang didatangi sosok pria berkepala ular dan berpesan untuk mengambil benda bersejarah jika muncul di Puthuk Kreweng.
Setelah mimpi tersebut, Yuntik merasa terdorong untuk berziarah ke makam tiga bupati Bojonegoro. Kemudian, saat kerja bakti membersihkan area Puthuk Kreweng, ia melihat batu-batuan di bekas pendapa lama yang longsor.
Setelah diperiksa, ternyata ada dua lempengan batu yang bentuknya berbeda dan bertuliskan aksara yang tidak dikenali oleh Yuntik, meskipun sekilas mirip Aksara Jawa.
Awalnya, batu-batu tersebut akan ditinggal di lokasi, namun karena khawatir hilang, Yuntik membawanya pulang. Penemuan ini kemudian menjadi perbincangan warga dan dilaporkan ke pihak berwenang.
Petugas dari Provinsi Jawa Timur telah melakukan pendataan terhadap kedua batu tersebut.
Kepala Desa Mojodelik berharap agar benda bersejarah ini tetap berada di Mojodelik untuk mendukung potensi sejarah desa.***