METRO CEPU – Sebuah temuan prasasti baru di Putuk Kreweng, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, menjadi perhatian di kalangan pemerhati sejarah dan budaya.
Komunitas Bumi Budaya menyoroti paradoks yang melekat pada artefak tersebut: “asli” secara fisik sebagai pahatan di atas batu, namun “palsu” dari segi isinya.
Komunitas Bumi Budaya, menyoroti ironi sejarah di mana penemuan prasasti-prasasti awal di Jawa terjadi pada masa ketika masyarakat Jawa telah kehilangan pemahaman mendalam tentang aksara kuno.
Akibatnya, interpretasi sejarah masa lalu seringkali bergantung pada kajian epigraf dari India atau tafsiran sarjana Eropa.
Ketua Komunitas Bumi Budaya, Totok Supriyanto, menjelaskan, Kekosongan pemahaman dari masyarakat Jawa sendiri, sayangnya membuka ruang bagi interpretasi mistis dan irasional terhadap temuan-temuan bersejarah.
“Inilah konteks yang melatarbelakangi munculnya cerita-cerita mistis yang seringkali menyertai penemuan prasasti baru,” kata dia.
Menyikapi temuan di Putuk Kreweng, Komunitas Bumi Budaya menegaskan bahwa secara definisi, artefak tersebut adalah “prasasti” yang otentik karena memuat aksara yang dipahat pada media batu yang keras. Namun, keaslian fisik ini berbanding terbalik dengan keabsahan isinya.
Komunitas Bumi Budaya, meyakini bahwa prasasti ini adalah palsu, kemungkinan besar dibuat tidak lama sebelum ditemukan oleh warga setempat.
Lebih lanjut, Totok mengidentifikasi kesalahan mendasar yang mengindikasikan kepalsuan prasasti Putuk Kreweng.
Pembuat prasasti palsu ini dinilai gagal memahami bahwa masyarakat Jawa modern telah mengalami pergeseran paradigma. Logika kini lebih diterima daripada mistika.
Selain itu, lanjut dia, kesadaran akan periodesasi aksara kuno telah meningkat, dan yang terpenting, semakin banyak individu, termasuk dari kalangan masyarakat Jawa sendiri, yang memiliki kemampuan untuk membaca, menyalin, dan menafsirkan prasasti-prasasti asli secara terbuka dan ilmiah.
Dengan demikian, menurut Totok, temuan “prasasti palsu tapi asli dari batu” di Bojonegoro ini menjadi pengingat penting akan perlunya pendekatan kritis dan berbasis ilmu pengetahuan dalam menafsirkan artefak sejarah.
Komunitas Bumi Budaya mengingatkan, kehati-hatian dan verifikasi mendalam terhadap setiap temuan baru, serta mengapresiasi kemampuan masyarakat Jawa modern dalam mengurai sejarahnya sendiri melalui metode ilmiah yang terpercaya.
“Temuan ini justru menjadi penanda kemajuan literasi dan kesadaran sejarah di tengah masyarakat,” pungkasnya.
Diinformasikan sebelumnya, dikutip dari Suarabanyuurip.com, dua buah lempengan batu bertuliskan aksara kuno yang mirip Aksara Jawa ditemukan di tempat wisata Puthuk Kreweng, Bojonegoro.
Penemuan ini bermula dari mimpi Kepala Desa Mojodelik, Yuntik Rahayu, yang didatangi sosok pria berkepala ular dan berpesan untuk mengambil benda bersejarah jika muncul di Puthuk Kreweng.
Setelah mimpi tersebut, Yuntik merasa terdorong untuk berziarah ke makam tiga bupati Bojonegoro. Kemudian, saat kerja bakti membersihkan area Puthuk Kreweng, ia melihat batu-batuan di bekas pendapa lama yang longsor.
Setelah diperiksa, ternyata ada dua lempengan batu yang bentuknya berbeda dan bertuliskan aksara yang tidak dikenali oleh Yuntik, meskipun sekilas mirip Aksara Jawa.
Awalnya, batu-batu tersebut akan ditinggal di lokasi, namun karena khawatir hilang, Yuntik membawanya pulang. Penemuan ini kemudian menjadi perbincangan warga dan dilaporkan ke pihak berwenang. Petugas dari Provinsi Jawa Timur telah melakukan pendataan terhadap kedua batu tersebut.
Kepala Desa Mojodelik berharap agar benda bersejarah ini tetap berada di Mojodelik untuk mendukung potensi sejarah desa.***